Malay Srilanka tempo dulu |
Memang bangsa melayu di Srilanka ini selain yang datang dari semenanjung malaka maka mayoritas dari mereka adalah yang berasal dari Indonesia khususnya orang Jawa. Dikenal dengan sebutan setempat Ja-minissu (Javanese people) datang ke Srilanka secara bertahap dan bergelombang. Orang-orang Jawa gelombang pertama adalah ketika raja Jawa yaitu raja Chandrabanu menduduki Srilanka sekitar abad ke 13 dengan membawa pasukan. Bukti sejarah ini dapat dilihat dari nama-nama daerah yang menunjukkan peninggalannya seperti Java Patnam (Jaffna), Java Kachcheri (Chavakachari), Ja-ella dan Hambantota (pulau hamba). Banyak dari pengikutnya kemudian menikah dengan penduduk setempat dan tinggal menetap di negara ini. Akan tetapi kebudayaan malay muslim sendiri mulai dikenal setelah gelombang ke-dua kedatangan orang Jawa di Srilanka. Gelombang ke dua ini datang ketika pemerintah Belanda membuang tahanan politik ke tanah Ceylon (Srilanka) yang dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai "disailankan" atau dibuang. Mereka datang dengan semua keluarga dan pengikutnya dimulai dari Pangeran Adipati Amangkurat III (Sunan Mas) pada abad ke 17 dan kemudian diikuti oleh beberapa keturunan ningrat Indonesia lainnya seperti Putra Mahkota Tidore, Pangeran Madura, Raja Kupang, Raja Padang, Raja Gowa dan beberapa Pangeran serta Adipati dari tanah Jawa yang saat itu memberontak dan tertangkap. Gelombang setelahnya pemerintah Belanda membawa tahanan non politik serta bala tentara dan budak. Para budak biasanya diambil dari Maluku dan Nusa tenggara, mereka dipekerjakan mulai dari pelabuhan sampai di perkebunan.
Orang-orang melayu ini dahulu biasanya tinggal berkelompok-kelompok. Sampai sekarang ada beberapa tempat di pusat kota Colombo yang diabadikan sebagai tempat keberadaan orang melayu ini seperti Java lane di Slave Island yang konon dulunya merupakan pulau di tengah Danau Baira tempat para budak dikumpulkan dan diasingkan. Dan Java lane adalah tempat para budak yang berasal dari Jawa. Walaupun sekarang pulau tersebut sudah menyatu dengan daratan dan menjadi pusat perkantoran dan bisnis tetapi nama Java lane dan perkampungannya tetap ada. Ada pula Malay street, Jalan Padang, dan Jawatte yang disitu juga dibangun sebuah mesjid oleh keturunan Raja Gowa yang diasingkan.
Selain dari nama-nama tempat dan jalan, keberadaan melayu keturunan Indonesia ini sampai sekarang bisa dilihat dari nama keluarganya seperti Jaya, Bongso, Wirabangsa, Nilawangsa, Kutthilan, Tumarto, Kitchil, Kuncheer, Singalaksana, dan lain2.
Pitthu, watthalapan dan kanji |
Keturunan mereka inilah yang kemudian membawa pula berbagai kebiasaan dan adat istiadat dari tanah leluhur termasuk makanan, pakaian, kebiasaan dan agama, berbaur dengan masyarakat setempat dan menghasilkan budaya baru yaitu budaya Malay Srilanka. Budaya inilah yang kemudian mereka turunkan sampai saat ini, seperti cara berpakaian mereka memperkenalkan penggunaan sarung bagi laki-laki dan cara pembuatan batik sehingga batik srilanka sangat dikenal sampai sekarang. Adat istiadat dan kebudayaanpun juga banyak mempengaruhi kebiasaan masyarakat setempat, seperti kerajinan membuat rotan adalah salah satunya. Untuk bahasa mereka memilih bahasa melayu sebagai bahasa sehari-hari yang dipakai masyarakat malay srilanka. Bahasa ini adalah bahasa Indonesia baku yang bercampur dengan bahasa sanskrit dan arab. Berbagai jenis makanan juga diperkenalkan, makanan yang dibawa oleh keturunan melayu dari Indonesia ini amat popular di masyarakat Srilanka, makanan itu yaitu nasi goreng, satay, malay kueh (berupa puding dan cake), pitthu dan babath.
Untuk hidangan Ramadhan sendiri mereka mempunyai kebiasaan menghidangkan "Kanji dan Wattalapan."
Kanji dihidangkan sebagai hidangan berbuka berupa bubur beras encer yang dimasak dengan daging ayam atau sapi dan santan. Kanji biasanya dihidangkan pertama kali dan dimakan saat hangat, dipercaya dapat menghangatkan perut setelah seharian berpuasa. Sedang Wattalapan adalah sejenis puding srikaya yang terbuat dari telur, gula merah dan santan beraroma kayu manis yang kuat dan dihidangkan dengan taburan kismis dan kacang mede, dimakan sebagai dessert setelah makan besar. Kedua makanan ini tidak pernah ketinggalan dan menjadi ritual saat berbuka bagi keluarga muslim malay dan mereka juga akan mengirimkannya sebagai bingkisan ke keluarga muslim lainnya. Acara bertukar makanan ini terus berlangsung sampai dengan Hari Raya tiba.
Pada Hari Raya selain membuat berbagai kueh-kueh mereka juga selalu menyediakan "pitthu dan satay". Pitthu ini terbuat dari tepung beras dan kelapa, dilihat dari bentuk dan cara pengerjaannya mirip seperti "kue putu" di negara kita, hanya saja jauh lebih besar (hampir sebesar lontong) dan gurih karena tidak diisi gula merah. Walaupun sekarang pitthu banyak dijual sebagai hidangan breakfast dan diner dan dihidangkan beserta sambol atau curry tetapi pitthu dan satay tetap merupakan hidangan special tradisi masyarakat muslim malay saat hari raya tiba dan dinikmati beserta seluruh keluarga yang datang saling berkunjung setelah selesai Shalat Idhul Fitri.
Mengamati berbagai kebiasaan masyarakat terutama masyarakat muslim malay di Srilanka ternyata bisa mendekatkan kita akan rindu Ramadhan di negara sendiri, apalagi ternyata kebiasaan tersebut amat dekat dengan sejarah tanah leluhur. Walaupun jauh dirintangi oleh lautan luas, gemanya akan terasa dekat dan lekat dihati, mungkin juga seperti apa yang dirasakan oleh para leluhur kita yang tecabut dari tanah leluhurnya, dari masyarakatnya serta terbuang jauh di tanah yang asing sebagai orang buangan, tetapi dengan tetap berusaha mengumpulkan dan menghidupkan semua kebiasaan dan adat istiadat yang tersisa maka akan mengembalikan sedikit jati dirinya di tanah yang kemudian akan menjadi sebuah tanah harapan.
*Foto dan tulisan bersumber pada artikel, blog, dan bacaan yang ada di google.
rasa ingin bersua dengan mereka insya allah..
ReplyDeleteTerimakasih sudah mampir....semoga tercapai bias ke Srilanka juga ya..
Delete